Dari mitos ke ideologi, dari kesepian ke kekuasaan
Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu jelas. Masa dewasanya merupakan proyeksi dari keinginan masa kecil. Soekarno membayangkan dirinya sebagai pembaru bangsa sejak kecil. Ia tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan belajar berbagai hal tak lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa. Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh besar terhadap hal ini. Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Kamar tidurnya penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar biasa.
Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan.
Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial. Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat.
Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan sosial.
Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun, ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita sebagai pegangan.
Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal besar dan mengabaikan hal-hal kecil.
Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan meninggal dalam kesepian.
Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan.
Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial. Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat.
Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa berikutnya. Kesakitan yang diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan sosial.
Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun, ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita sebagai pegangan.
Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal besar dan mengabaikan hal-hal kecil.
Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan meninggal dalam kesepian.
0 Response to "Dari mitos ke ideologi, dari kesepian ke kekuasaan"
Post a Comment